SISTEM KEBUT SEMALAM (SKS)
Katanya tujuan kita sekolah itu buat mencari
ilmu. Tapi sepertinya, kita mungkin sekolah hanya untuk mendapatkan nilai ujian
sempurna. Alasannya pun macam-macam. Tapi seperti biasa, kita pasti sering
berpikir bagaimana caranya dapat untung sebesar-besarnya, dengan usaha
sekecil-kecilnya. Dari situ tercetuslah ide cemerlang yang bernama Sistem Kebut
Semalam atau SKS. Tapi benarkah SKS ampuh seperti yang dikatakan orang-orang?
Pada dasarnya, SKS merupakan sebuah metode
yang hampir mirip seperti teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dimana porsi pekerjaan
untuk jangka waktu tertentu diselenggarakan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Tapi bedanya, SKS hanya diselenggarakan semalam saja.
Biasanya, orang yang paling ahli melakukan SKS adalah mereka yang tergolong
sebagai penunda.
Berhubung para penunda biasanya juga pakar dalam hal membela diri, mereka sering beralasan bahwa SKS membuat kita mempunyai kemampuan super. Logika ilmiahnya, situasi terdesak akan memicu rilis hormon adrenalin, yang bisa melipatgandakan kemampuan kita melebihi hari-hari biasa. Di satu sisi, cara berpikir seperti ini memang tidak salah. Karena otak yang penuh akan hormon adrenalin memang bisa membuat otak terasa segar untuk berpikir cepat dan akurat. Tapi di sisi lain, efek ini tidak akan berlangsung lama, dan biasanya menyisakan stres dan capek yang luar biasa.
Selain itu, SKS punya efek samping yang tidak bisa dihindari, yaitu begadang. Untuk yang pagi harinya akan menghadapi ujian, begadang seakan menambah waktu belajar. Nyatanya, begadang hanya mengandalkan memori jangka pendek yang sifatnya sementara. Belum lagi, begadang sebetulnya bikin otak capek, sehingga pagi harinya kita malah jadi tidak akan konsentrasi dan pastinya akan mengantuk berat. Lebih ngeri lagi, hobi begadang ternyata meningkatkan risiko buruk buat tubuh kita.
Kalau dampak jeleknya sangat banyak, tapi kenapa masih banyak orang yang suka menunda-nunda? Di dunia psikologi, sifat menunda sangatlah akrab dengan istilah temporal discount. Artinya, semakin jauh jaraknya dari deadline, suatu tugas akan kita anggap semakin kurang penting. Akibatnya, tugas sekolah misalnya, terasa belum penting kalau belum berdekatan dengan deadline. Sifat menunda juga ada hubungannya dengan impulsivitas dalam DNA kita. Dulu di alam liar, kehidupan masih serba sederhana. Kalau lapar, kita tinggal berburu. Urusan hari itu dipikirkan saat itu juga. Tapi semakin kompleks kehidupan manusia, semakin banyak kebutuhan yang mau tidak mau harus kita rencanakan dari jauh-jauh hari. Hanya saja praktiknya, impulsivitas prasejarah kita ini memang masih sering kambuh.
Nah, itu dia masalahnya. Selama ini sekolah terbiasa menilai kepintaran siswa nyaris hanya dari nilai pelajaran. Gampangnya, yang dilihat adalah hasil jangka pendek, bukan jangka panjangnya. Akhirnya, wajar saja kalau kita juga jadi gampang menyerah pada kesenangan sesaat, tanpa memikirkan apa akibatnya di kemudian hari. Apalagi dengan banyak distraksi online yang reward-nya serba instan seperti sekarang. Padahal pepatah juga tahu. Kalau mau maju, kita emang musti bersusah-susah dahulu, baru bersenang-senang kemudian.
DAFTAR REFERENSI
Untuk Blog penulis silahkan klik disini
Komentar
Posting Komentar